![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZTiu4YMdGhCFpJVZPZeuCo7E_DKefESS6gCp8cESnDOUTfocB6LExlb8Kj4W12ONGA7yFtL_QMfHR7LJoGWYRQl23kLuwKea7bqhmL4M33LlYWG__CCDPvPEwWhaNQAJCppB30XmS1Eo/s320/P8220489.JPG) |
bermimpilah untuk suatu hal yang tidak mungkin sekalipun |
Pendidikan tinggi adalah sebuah kemewahan yang aku tak
berani impikan bahkan sejak lama. Terlalu realistis untuk menyudahi saja mimpi
itu daripada sakit hati karena tak mungkin untuk dicapai. Orang tuaku tak punya
cukup dana untuk mendaftarkan aku di perguruan tinggi, sekalipun aku
mati-matian menjelaskan mereka hanya perlu mendaftarkan saja, sisanya aku yang
memperjuangkan meski harus bekerja membanting tulang sambil belajar.
Teman-teman, guru dan orang bilang masuk jurusan seni saja, ambil perhotelan
saja, masuk jurusan keguruan saja bahasa inggris kamu bagus, jadi chef saja
kamu pinter masak. Semua orang bilang ini itu tapi miris kenyataannya untuk
membayar uang SPP sekolah yang perbulan Rp.30.000,- saja aku sampai menunggak
beberapa bulan. Apalagi membayar uang masuk kuliah yang nominalnya juta-jutaan
itu, jual diri kemana aku buat uang sebanyak itu?
Tahun 2007 setamat dari SMA di kotaku Pagaralam, aku bekerja
serabutan. Karena aku aktif di sanggar sekolahku, jadi untuk beberapa
perlombaan aku masih diikutkan lomba tari di berbagai daerah, sebagai sampingan
aku juga merangkap menjadi asisten make up artist yang mendandani para penari
yang juga sahabatku, lumayan untuk uang jajan. Membantu ibu jualan nasi uduk
dan hampir saja aku terima tawaran untuk jadi buruh bangunan, proyek tetangga
yang sedang membangun rumah mewahnya. Sampai akhirnya orang tuaku punya sedikit
modal untuk memulai usaha konter HP dan berjualan pulsa yang akan aku kelola.
Umur 17 tahun jauh dari kata matang dan siap untuk mengelola
suatu usaha agar aku bisa mandiri. Meskipun keluarga ku berlatar belakang
wiraswasta tetap tidak membuatku selamat dari rasa jenuh untuk menjalankan
usaha ini. Bayangkan aku yang biasanya keluyuran
sana-sini bersama teman-teman terjebak
24 jam didalam ruang 3x4m setiap hari untuk berdagang pulsa tanpa jam kerja
yang jelas dan semua aku atur sendiri. Ya akulah bosnya, dengan pengetahuan
wiraswasta nol. Oleh karena itu, seringkali aku bandel dan kabur-kaburan dari
konterku untuk kumpul bareng teman-temanku yang sudah berkumpul disuatu tempat.
Memang tak ada yang berhasil hal apapun bila dijalani tidak sepenuh hati. Usaha
konterku pun kembang kempis, kebanyakan kempisnya lebih tepat, karena aku
sering kabur dan aku sadar ini tidak bagus. Akhirnya kupanggil teman-temanku
untuk kumpul saja dirumahku dan buat konterku menjadi base camp perkumpulan
kita. Perlahan tapi pasti, usahaku pun merangkak naik. Akupun merambah barang daganganku seperti rokok,
alat tulis, camilan, kaos sampai boneka-boneka
untuk kado ulang tahun. Akan tetapi, aku merasa jiwaku kosong karena bukan ini
yang aku inginkan. Aku ingin sekolah, sekolah yang tinggi. Aku suka sekolah,
aku suka belajar. Tempatku bukan disini. Percayalah dunia tidak sesempit tuang
3x4m ini. Berbulan-bulan aku merasa kosong, rasa hausku untuk belajar Cuma jadi
dahaga yang menyiksaku setiap hari. Untung ada buku-buku novel best seller yang
aku pesan dari teman-temanku saat mereka mudik dari rutinitas perkuliahan
mereka dan setia aku baca novel ini untuk membunuh waktu. Tapi hasilnya,
hasratku makin menggebu-gebu untuk kuliah. Aku tak peduli akan jadi apa aku
nantinya yang penting saat ini aku mau kuliah.
Internet masih sangat sulit saat itu untuk diakses dikampung
halamanku, kucari-cari semua informasi mengenai perkuliahan. Bagaimana cara
mendapatkan beasiswa. Semua membuat kesimpulan, aku harus diterima dulu di
sebuah perguruan tinggi dan mengajukan program beasiswa. Baiklah, ini tidak
mudah karena biaya formulir dan uang awal tahun sangat mahal. Entah kenapa pada
pertengahan juli 2009, aku yang jarang mendengar radio ini tidak sengaja
menyetel radio dan mendengar informasi beasiswa dari Putera Sampoerna
Foundation. Langsung saja aku bergegas mencatat nomor kontak informan yang
dapat dihubungi dari program beasiswa ini dan aku telpon saat itu juga.
Sialnya, nomor tidak dapat dihubungi karena sedang sibuk. Mungkin ada yang
sedang menanyakan hal yang sama di seberang sana. Kucoba sampai berulang kali
dan terhubung, akhirnya akupun menanyakan kebenaran program beasiswa itu dan
dijabarkan secara rinci sampai tim panitia mengirimkan formulir yang harus aku
isi. Perlu kalian tahu, itu cuma 4 hari sebelum penutupan sementara banyak
surat yang harus diurusi. Percayalah tidak ada yang tidak mungkin, malam hari
itu juga aku mencari warnet yang masih buka untuk mencetak formulir
pendaftaran. Tiga warnet aku jelajahi dengan jalan kaki untuk dapat mendownload
dan mencetak formulir pendaftarannya. Maklum saja, kampungku terletak di
pegunungan jadi sinyal internet susah diakses dimalam hari karena terhalang
perbukitan. Jam 12 malam aku sampai dirumah dan kubaca sekilas berkas apa saja
yang perlu disiapkan. Banyak juga ya.
Besoknya langsung kupersiapkan semua berkas pelengkap
seperti surat keterangan tidak mampu dan yang paling menantang adalah menulis
Essai dengan Tulisan Tangan. Apa yang pelu aku sampaikan dalam kertas double
folio ini. Akhirnya kutulis garis besar isi esaiku sebagai kerangka
paragrafnya, dan kutumpahkan isi hatiku mengapa aku ingin melanjutkan pendidikan
dan apa yang akan aku lakukan jika aku tidak diterima dalam program beasiswa.
Ada beberapa pertanyaan yang harus dijawab dalam esai ini dengan jujur.
Akhirnya semua berkas ini dapat kuselesaikan dengan baik dan segera kukirim via
pos. jujur saja, aku tidak yakin berkas ini dapat sampai dengan tepat waktu.
Sudahlah, biarkan tuhan saja yang bekerja di balik semua ini.
Minggu demi minggu berlalu hingga satu bulan kemudian aku
menerima telepon dari panitia beasiswa bahwa aplikasiku diterima dan aku diminta
untuk mengikuti tes yang akan diselenggarakan di Jakarta. Tak perlu pikir
panjang, untung ada kakak tiriku yang tinggal di jakarta, langsung aku pesan
tiket bus dan menuju ke Jakarta . perjalanan ditempuh dalam waktu 24 jam dan
sampai juga aku di terminal kampung rambutan Jakarta, sudah beberapa kali aku
pergi ke jakarta seorang diri sampai aku hapal bagaimana rute menuju rumah
kakakku tersebut tanpa nyasar. Lokasi tes saat itu berada di daerah Ragunan, di
sebuah mes. Ternyata aku baru tahu jika tes ini dibagi menjadi beberapa kloter,
dan bagianku semua kandidatnya berasal dari sumatera selatan maka kami pun
sesama peserta mengenakan bahasa ibu kami. Alangkah terkejutnya aku karena
rekan peserta tes ini adalah siswa-siswa yang baru tamat SMA dengan otak
brilian dan pengalaman ikut olimpiade sains disana-sini. Sementara aku, sudah
tamat SMA dari dua tahun yang lalu,
latar belakang pengalaman menari dari panggung ke panggung, pekerja serabutan dan pekerjaan berdagang pulsa. Sungguh
terlempar jauh dengan mereka yang begitu akademisi, pintar cemerlang. Aku
berpasrah diri, modal tempurku hanya membolak-balik buku detik-betik UN 2 tahun
yang lalu dan buku tips mendapatkan beasiswa yang kubeli di pasar tempo hari
sebelum berangkat. Kedua buku ini yang kubaca sepanjang perjalanan dari
Pagaralam sampai Jakarta. Maju ke medan perang dengan tangan kosong tentu akan
mati konyol kan, lebih baik bersiap diri sebelumnya.
Hari tes pun tiba, begitu banyak rangkaian tes yang kami
jalani. Berlembar-lembar halaman soal psikotes, tes bahasa inggris dan tes
potensi akademis. Yang terakhir, aku yakin nilaiku paling jelek. Terang saja
hanya berapa soal yang mampu aku jawab khususnya bagian matematika. Sudah 2
tahun otakku beku tidak membaca buku pelajaran. Membahas soal-soal di buku
detik-detik UN pun tidak terlalu banyak membantu, selebihnya hanya mengandalkan
logika atau ngasal. Ini karena otakku yang tumpul atau ilmu pengetahuan
berkembang begitu cepat dalam 2 tahun terakhir ya? Tes pun berlangsung hingga
sore hari, selesai tes tertulis kami diminta istirahat oleh tim panitia dan
mempersiapkan diri untuk makan malam. Selesai makan malam kami di briefing oleh
tim panitia karena besok lokasi tes berada tidak di gedung yang sama melainkan
di daerah tendean dan kami akan pergi kesana dengan bus transjakarta. Ini
pengalaman baru buatku, tiket sudah dibeli oleh panitia dan besok paginya
dibagikan untuk kami. Tes hari kedua adalah tes diskusi panel dan wawancara,
kamipun berada di sebuah gedung di daerah tendean yang akan menjadi gedung
perkuliahan kami jika kami lolos tentunya. Kami para kandidat penerima beasiswa
dikumpulkan dalam sebuah aula dan dibagi menjadi beberapa kelompok kecil dan
dipanggil secara bergiliran untuk memasuki sebuah ruangan yang lebih kecil.
Yap, selamat datang dalam diskusi panel. Panitia menjelaskan aturan main dalam
tes ini, kami pun membagi peran dalam kelompok kami dan kami diberi satu topik
yang perlu kami cari jalan keluarnya. Silahkan ditebak, aku jadi ketua
diskusinya. Disini kami belajar bahwa diskusi ini tidak untuk saling
menjatuhkan seperti dalam debat melainkan untuk bekerja sama mencari solusi
dari sebuah permasalahan. Tes berikutnya adalah wawancara. Hari sudah sore dan
dinginnya AC begitu menusuk, tapi keringat dingin terus mengucur dibalik kerah
kemeja karena gugup menanti giliran untuk dipanggil menuju ruang wawancara.
Wawancara dilakukan secara face to face perorangan. Ada tiga orang pewawancara
yang sudah bersedia diruangan, kukira ini akan menjadi wawancara termenegangkan
yang pernah ada. Akan tetapi, semua pewawancara sungguh menyenangkan dan
membuat suasana menjadi begitu santai, akupun jadi rileks sampai tidak ragu
untuk menjawab semua pertanyaan dengan baik dan lancar. Mungkin ini
satu-satunya wawancara dimana aku bisa tertawa di dalam ruangan.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgU5dMtb6K21_jzx_8IeKLdO_TxnaFugV1d_8AMDj9KXKkMSXaj-MagrdvcTnPtpSADPX-1xHGE1vgh_tr91hUpBhawZZkYggosJL751QmJ2nm-g7fcdysDUhl4QoTa24NNRjg1v_zImI4/s320/1916968_1129854172189_2836831_n.jpg) |
stress abis tes langsung gila di depan kamera |
Hari ketiga sekaligus hari terakhir dalam rangkaian tes ini,
hanya ada satu agenda pada hari ini yaitu mengajar! Karena fakultas yang akan
kami pilih adalah keguruan, jadi kami diharuskan untuk bisa mengajar. Coba
tebak siapa yang kami ajar, siswa kami adalah siswa-siswi anak kurang mampu
yang bersekolah di masjid terminal depok. Sekolahnya unik, bangunannya terbuat
dari bekas kontainer bahkan ada kelas yang terbuka dan belajrnya di dalam
pondok atau saung, Acnya langsung dari udara terbuka. Kami harus mengumpulkan
siswa-siswa kami yang masih sibuk main di luar kelas. Aku kebagian mengajar
kelas 1 SMA, kelasku jauh dari kata layak. Murid-murid duduk di lantai dan
menulis diatas bangku yang panjang. Belajar bisa dimana saja,kan? Akhirnya
semua murid pun masuk di kelas kami. Sudah ada tim penilai yang berada di dalam
kelas dan kami mengajar dalam kelompok. Untung dulu aku aktif di sanggar dan
beberapa kali sempat mengajar tari untuk adik-adik kelasku, sedikitnya aku ada
gambaran mengajar itu bagaimana. Kami mengajar bahasa inggris dengan topik
Simple Past Tense, ini hasil rapat singkat yang kami lakukan sebelum masuk
kelas tadi. Siswa-siswi dikelas masih sibuk dengan diri mereka masing-masing,
kami benar-bena diacuhkan di kelas. Mungkin karena usia yang berbeda 1-2 tahun
jadi respek itu susah kami dapatkan. Kelas begitu gaduh ditambah suara
anak-anak kecil berlarian di luar kelas sembari teriak begitu lengkap untuk
menyebut kelas ini lebih ramai daripada pasar. Kami pun berpencar di dalam
kelas dan mendampingi anak-anak yang belum siap untuk belajar. Pintu kelas kami
tutup dan kami memperkenalkan diri dengan suara lantang untuk memancing
perhatian mereka. Ternyata cukup berpengaruh untuk memancing siswa
memperhatikan kami yang sedang berbicara di depan kelas. Terima kasih tuhan,
kami pun begitu akrab dengan siswa seperti layaknya teman sebaya. Mereka
memanggil kami kakak, bukan bapak atau ibu. Satu respon yang saya terima dari
salah satu siswa, “Kak, kaka orang jawa ya? Medok banget tadi ngajarnya”. Jelas
aku tertohok, karena aku selama ini tinggal di pagaralam-sumatera selatan dan
dia bilang aku medok. Memang sih aku keturunan jawa, tergambar jelas dari
wajahku, tapi masa iya aku medok? Aku bingung menanggapinya, ku balas saja
“masa sih kakak medok? Memang gimana tadi ngomongnya?” diapun mencontohkan gaya
bicaraku dengan konyol dan itu memancing tawa teman-temannya. Aku pun ikut
tertawa, membuat orang tertawa dapat pahala kan ya?
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi6le80q7eLOOwe8DRxOVmPcEgmOqukZYsgdQa9ePZuDlnVzG_B8dizdfA52-VRIKhYZEABogEvaeC0BytBImQFfWTqmIwLsJyQxG65EGKjjZ4F3L5HWerHq1M5zMtsVHG4LMYu7OSjVpU/s320/1914298_1134864457443_1388709_n.jpg) |
dibriefing dulu sebelum dilepas di lapangan |
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEip0qiUNsrqjb_mz3tDPpfbUBfwsIcSrN0iaVEc5IKpHFj3cj0RnemIlHgAUkdaegbDsFRT9-dOSbdBadvclgsiP5waxApcb8UjYdigrxw5DFjGBWC-dZ7vVqtyhsTg0CnGTTsRMKqdOyo/s320/1914298_1134864497444_1422268_n.jpg) |
tes mengajar |
Aku selalu percaya bahwa beasiswa itu diberikan untuk orang
yang layak dan bekerja keras untuk mengusahakannya, bukan semata-mata karena
hadiah atas sebuah kepintaran atau menang lomba. Aku percaya bahwa tim panitia
melihat kandidat penerima beasiswa ini sebagai manusia (see person as a person)
bukan karena latar belakang keluarganya atau seberapa pintar dia. Aku juga
yakin telah merepresentasikan diriku sebaik-baiknya dan mengeluarkan potensiku
semaksimal mungkin. Sisanya biarlah tuhan yang bekerja. Setelah selesai semua
rangkaian tes, aku kembali ke pagaralam dan melanjutkan rutinitasku bekerja di
konter. Hari demi hari berlalu dan hatiku harap-harap cemas menanti pengumuman.
Hingga suatu hari aku mendapat telepon
dari panitia beasiswa putera sampoerna foundation bahwa aku diterima sebagai
salah satu mahasiswa di sampoerna school
of education. Tak dapat lagi kuungkapkan dengan kata-kata betapa bahagianya
aku. Sujud syukurku kupersembahkan untuk allah karena telah menghijabah doa dan
tangisku selama ini. Keinginanku untuk kuliah sudah di depan mata. Tak
kusangka, aku yang sudah 2 tahun tidak belajar secara formal ini ternyata
dipertimbangkan oleh tim penilai dari program beasiswa Putera Sampoerna
Foundation.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhckGlaGmOruwVmQVCL239URVWcuqQgvKrIB7Nv49-TP4UJEpTu4ADHKBeBMtJgvkFMbudEfCOjqAOLkTK5GvjJAJQmug7DVKV6Bu51h58hDVIvqp-ZFGp8zW4iReInmLqxxgQv8WzcavU/s320/11428562_10155631978550542_5509706740416248802_n.jpg) |
bersama guru terbaik dan teman-teman pilihan tuhan |
Dengan diterimanya aku
sebagai mahasiswa di sampoerna school of Education berarti aku juga
harus meninggalkan usahaku yang sudah kurintis selama ini. Jujur saja, usaha
ini sedang berada dipuncak kesuksesannya. Penghasilanku pun mulai stabil dan
aset daganganku semakin bertambah. Akan tetapi, sedikitpun aku tidak ragu untuk
meninggalkan semua ini. Karena keinginanku sudah terwujud, aku ingin kuliah dan
itu segera terwujud. Orang tuaku mengikhlaskan kepergianku ke Jakarta, karena
mereka yakin ada kesempatan yang jauh lebih besar di luar sana. Ibuku sangat
mendukung pendidikanku, dia ingin aku menempuh pendidikan setinggi-tingginya dan
terus berjuang untuk masa depan yang lebih baik. Setelah lebaran tahun 2009,
aku berangkat ke Jakarta dengan dilepas oleh kedua orang tuaku, kakakku dan
teman-teman geng dengan bercucuran air mata. Jakarta, aku siap mengukir masa
depanku!
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh7GozzDn1AF-Q8GCK_d54rL9AvV4SV3jzumdpnL4QlKWX1ZLZ9VngqCNABtZO9dbraysyjY35vYxlT8Mm5ZQsshy9rz0UfGpSLk3HDZ9YhX_VQg9zeO4sE_UeRLoEzQFdlmOxGRP2UNIo/s320/P8220500.JPG) |
bersama gadis cantik yang selalu mendukung perjuangan gw, emaaaakkkk |
Kereen babeehh :''')
BalasHapusThanks Pitu :)
Hapus