Rian Hadi Saputra (27 Mei 1990 – 21 Mei 2015)


Rian Hadi Saputra (27 Mei 1990 – 21 Mei 2015)
Rian Hadi Saputra, kau begitu benci kalau ada yang menulis namamu menjadi syahputra. Pertama mengenalmu saat kita duduk di kelas 2 SMP N 1 pagaralam, saat itu kita berada dalam satu kelas yang sama yaitu kelas 2VII. Sejak pertama kenal, sudah ada firasat bahwa kita akan jadi sahabat baik. Aku tak peduli dengan apa yang orang katakan tentang gerak-gerikmu yang kemayu. Banyak orang yang mencacimu tapi tak sedikitpun kau peduli, kau menjadi dirimu sendiri. Aku bangga punya teman seperti rian, dengan poni yang tergerai didepan jidatnya. Bukan, bukan untuk menutupi jidatnya yang nonong, tapi ada bekas luka disitu gara-gara jatuh ditangga karena tidur sambil jalan. Meski seringkali bekas luka itu seringkali luka itu aku ledek seperti lubang celengan, “Sini yan, aku masukin koin pengen nyeleng buat beli baju lebaran”. Bersahabat denganmu membuatku awet muda, banyak tawa dan nilai raporku jadi bagus karena kamu pintar. Kita tak pernah kenal sebelumnya, pertama bertemupun hanya saat kita satu kelas tapi istimewanya kau kenal hampir 80% dengan teman-teman seSDku. Sampai saat ini aku masih tak tahu bagaimana kau kenal dengan mereka, bahkan terkadang aku lupa kalau si ayu, si bayu, si yayan yang pernah satu SD denganku. Ajaibnya kau masih suka ngobrol dengan mereka di sosial media.

Masa SMP telah usai dan kitapun dipisahkan oleh takdir, aku diterima di SMA Negeri 1 pagaralam dan kau pun masuk ke SMK Muhammadiyah. 3 tahun kita tidak pernah bertemu, kukira kau sudah akan meninggalkan kami dipagaralam untuk melanjutkan kuliahmu dikota besar macam teman-teman lainnya. Hasratmu begitu besar tentang dunia desain, khususnya fashion. Keisenganmu mencorat-coret buku tulis dengan gambar-gambar baju rancanganmu saat pelajaran PPKN yang membosankan sementara bapak guru terhormat sibuk menaikkan celananya yang kedodoran telah melatih tanganmu untuk membuat desain baju yang masterpiece. Kukira kamu akan kuliah di fakultas desain dan jadi desainer besar suatu saat  nanti. Tapi ternyata takdir tidak berkehendak demikian, perpisahan yang terjadi didalam keluargamu berdampak besar terhadap keadaan dirimu setamat kita SMA. Rian yang kulihat kucel, tapi masih ada senyum tersungging dari bibir tebalmu dan poni itu masih ada, cuma rambutmu sekarang gondrong. Kudengar sekarang kau kerja di toko grosiran baju di pasar dempo, aku pun sering berkunjung ketokomu bersama dengan jhon, helen, kak chan, iqe, sugek, ibank dan lainnya. Satu persatu kami pun jadi kenal dengan karyawan di toko itu dan untungnya kami dikasih diskon kalau beli baju.
Teman-teman kongkow kalo lebaran
Aku pun ikut senang saat kau tunjukkan photo pacarmu di dompet, wah udah macam photo prewed aja. Nggak kemudaan yan mau nikah sekarang, tanyaku saat itu. Siapa yang mau nikah, jawabnya. Dia bercerita kalau pacarnya itu sudah menikah dengan pilihannya, tapi sayangnya dia meninggal. Terlihat jelas kalau ada rasa sedih dan cinta yang dalam untuk perempuan itu tergambar dari raut mukanya. Sudahlah tak usah diceritakan, katanya. Dia pun pamer kalau belum lama ini Rian memenangkan kontes pemilihan model dipagaralam dan dia pamerkan photonya bareng vicky nitinegoro, saking bangganya dia cetak itu photo dalam berbagai ukuran, termasuk untuk dipajang didompet dan di sosmed.

Getirnya kehidupan yang kau jalani saat itu membuatmu menenggelamkan dirimu dalam pekerjaanmu di toko grosir. Kerja pagi pulang malam, kadang lembur. Untuk hiburan kadang kau jadi kecentilan dengan pelanggan toko dan bersikap manja dengan karyawan lainnya, maka dari itu kamu menamaimu “Jande Grosir”, kami hampir tak pernah memanggilmu Rian lagi tapi Jande Grosir. Kadang kau menyangkal, “jangan panggil jande dong kan gw udah punya laki”, kilahmu untuk membela diri. Tapi kami tetap memanggilmu Jande dan kaupun terbiasa. Hidup yang kau jalanipun semakin pahit dan kau jadi malas pulang kerumah, sepulang kerja kau tidur dirumahku, makan dirumahku. Pulang kerumah hanya untuk mandi dan berangkat kerja. Terlukis jelas raut kelelahan diwajahmu tapi kau tak pedulikan, kau terus tenggelamkan dirimu dalam pekerjaan. Kemana hasil kerja keras itu? Kau traktir teman-teman ke berbagai tempat makan untuk menghibur diri dan kamipun menjadi candu dengan traktiranmu. Maafkan kami yan. Kau ingin melupakan masalahmu tapi temanmu ini malah memanfaatkanmu. Tak peduli malam ataupun siang, atau saat kau dapat libur, kita pasti main entah itu ke gunung, lematang atau sekedar makan dilesehan. Kau bahagia berada diantara teman-teman, tapi ada harga yang harus kau bayar dengan menguras hasil kerja kerasmu. Kami begitu materialistis.
Sahabat tanpa pamrih

Suatu saat kau bilang, aku ingin menghilangkan diri dari peredaran kis, aku mulai jenuh. Aku pengen ganti nomor hapeku, hapus facebooku. Hilang sama sekali. Mungkin semua akan jadi lebih baik. Entah ada masalah apa sampai kau memutuskan untuk berbuat demikian. Hidup mulai sangat menjemukan buatmu di Pagaralam dan kaupun mendapat tawaran pekerjaan di Lampung. Kuminta kau untuk berpikir dengan matang sebelum memutuskan untuk pergi, apa benar pekerjaan ini akan membuatmu lebih baik. Jangan jadi pelarian saja. Kaupun memantapkan hati untuk pergi, aku hanya mendukungmu. Semoga semua jadi lebih baik.

Kau menghilang, dua kali lebaran kita tidak bertemu dan aku pun sudah pindah ke Jakarta untuk kuliah. Kurasa kehidupanmu di Lampung sudah jauh lebih baik, kau betah disana. Saat lebaran kau mudik kepagaralam, senang melihatmu dengan kondisi yang jauh lebih baik, tubuh yang berisi,  bersih dan penampilan yang modis. Rupanya di Lampung kau kerja dengan sahabat kecilku, teman SD, Adit namanya. Kau ajak dia silaturahmi ke rumah, tentu aku senang sekali setelah lama tak jumpa dengan Adit. Kita senang-senang bareng saat lebaran, main ke gunung dempo, photo sana-sini dan upload ke Facebook. Kau begitu ceria, ibukupun senang melihatmu merayakan lebaran di pagaralam. Dalam hati, ia rindu denganmu Rian yang sudah macam anaknya sendiri, sayang kau mudik cuma beberapa hari. Tak lupa kau curhat, “aku pengen kerja di Jakarta Kis”. Balasku, “Yakin, Jakarta nggak enak lho. Nggak lagi ada masalah kan di Lampung sampe pengen kerja di Jakarta?” aku pun jadi suudzon. Kau pun berkata mantap sambil mengadu ke ibuku “Ma’e aku nyusul Kis yo kerjo neng Jakarta”. Ibu pun tersenyum manis seraya berkata “Yo kerjo lah ben Kis ono koncone”. Kau jadi senang karena ibuku memberi respon yang positif. Waktu pulangmu tiba, kau pulang ke Lampung dan akupun ke Jakarta.

Kita larut dalam kehidupan masing-masing, waktu terus berlalu sampai lebaranpun tiba kembali. Kau sudah sangat mantap untuk pindah mengadu nasib ke Jakarta. Kudengar sekarang kau bekerja di restoran cepat saji yang jualan ayam dan album rekaman. Kau bercerita pengalamanmu kerja disana dan kerasnya kau membangun kehidupanmu sendiri di Lampung. Sebenarnya kau bisa hidup enak dengan ikut Adit namun kau memilih untuk mandiri.  Kau dan Aan memantapkan hati untuk membangun kehidupan dan karir di Jakarta. Aku pun jadi satu nada dengan kalian, mungkin akan lebih baik jika kita tinggal bertiga, bisa saling bantu apalagi kita dari kota yang sama, sudah kenal dari kecil lagi. Ku sambut kedatangan kalian satu persatu.Ddari menjemputmu di stasiun Gambir di tengah malam, sampai menjemput si Aan di terminal lebak bulus tengah hari bolong dan kita jalan kaki. Kita tinggal di kamar kos yang sama, mpel-mpelan di kamat SSS (selonjor saja susah), di omelin mbah kos Bariyah gara-gara berisik tapi disayang juga karena kita anak baik dan dikasih makanan gratis ala chef hasil masakan si mbah. Konon dia dulu chef pribadi di rumah orang Jepang. Omelan si mbah makin hari makin intens dan bikin kita risih, akhirnya kita pun pindah ke kontrakan yang lebih lapang. Disini kita memulai hidup dari nol. Tak punya apa-apa, Cuma modal magic com untuk menanak nasi. Karena kebaikan mbah, kita dihibahi kursi yang sudah tidak dipakai dirumah mbah. Jadi ada kursi deh diruang depan yang kadang kita rebutan untuk duduk disana. Saat itu kita tidur hanya beralas seprai tanpa kasur, sampai nunggu dapat rejeki agar bisa beli kasur angin promo discount buy 1 get 1 yang bolak-balik kita lihat di giant sambil was-was takutnya pas mau beli diskonnya selesai. Akhirnya kita beli juga kasur itu, tapi bingung ngisi anginnya pake apa dan kita minta tolong ke abang tukang tambal ban buat isiin angin kedalam kasur. Namanya barang promo, ada harga ada mutu. Kurang dari sebulan kita pakai kasur itu sudah bolong disana-sini. Kita gantian untuk mengisi udara itu setiap hari dengan meniup manual agar kasur dapat kembung. Ya ditiup pake mulut. Aan sih yang lebih sering. Setidaknya saat merebahkan diri terasa empuk, walau dipagi hari kasur kembali rata dengan tanah sama seperti waktu dulu kita tidur Cuma beralaskan sprei. Terkadang kalau weekend tiba kita membuang waktu di sevel, sekedar makan mie atau beli kopi di minimarket sebelah yang harganya seribu tapi numpang nonkrongnya di sevel biar kece. Ngobrol ngalor-ngidul sampai bosan untuk membunuh waktu dan menunggu pagi tiba. Alasan lain, malas tidur tanpa alas.

Kerasnya kehidupan diibukota mulai terasa di bulan kedua kebersamaan kita, perbekalan hidup  kita mulai menipis. Sementara hasil dari kerja tidak seberapa. Terkutuklah untuk penemu sistem kerja tanpa gaji pokok dan mengandalkan komisi! Rumah berantakan, cucian menumpuk, lampu kamar mandi mati, bak bocor dan kita tidak mampu untuk memperbaiki. Aku jadi semakin tidak betah dirumah, aku pun sering menginap di tempat lain. Seringkali aku mengomel, marah-marah melihat tingkah laku kalian, walaupun sendirinya aku tidak lebih baik dari kalian. Gaya hidup kalong sering membuat risih, terlebih jika melihat langit sudah cerah, sementara kalian masih tidur pulas. Ingin rasanya menyiram kalian dengan seember air. Keuangan kita semakin menipis, kita harus mengirit untuk makan karena satu pendapatan harus cukup untuk mulut bertiga. Kau pun makin tertekan, seringkali kau pingsan Rian, hampir tiap hari, kadang itu saat bekerja, kadang itu saat dirumah atau saat kumarahi karena kukira pingsanmu hanya alasan untuk bermalas diri. Tak sedikitpun aku berpikir ada penyakit yang kau derita saat itu. Ketidak betahanku semakin menjadi-jadi, kutenggelamkan diriku dalam tugas sea games saat itu yang tengah ku geluti aku jarang pulang kerumah. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk pindah rumah dan memilih tinggal satu kos dengan teman kuliahku. Sementara kalian, silahkan bertarung dengan ganasnya ibukota. Aku sadar begitu egois, aku meninggalkan rumah dalam keadaan marah dan kau merelakan aku pindah bahkan membantuku memindahkan barang sampai menutup pintu taksi yang aku tumpangi.
Tak berselang lama setelah kepindahanku, ternyata kalian mendapati nasib yang lebih baik. Aan diterima disalah satu bank negeri terkemuka di Indonesia dan kau mendapat pekerjaan outlet pakaian besar di Surabaya. Kau pun pindah ke Surabaya. Aku sama sekali kehilangan kontakmu, Fbmu tak aktif, nomor hapemu pun begitu juga. Kau menghilang lagi. Sesekali aku masih bertukar kabar dengan aan tapi tidak padamu, masing-masing kita tenggelam dalam emosi karena keadaan yang sulit.

Tiga lebaran telah berlalu, tiga tahun juga sudah terlewati tiba-tiba kau mengirim kabar melalui whatsapp entah darimana kau dapat nomorku dan kita pun bertemu di plaza semanggi. Rasa marah itu telah lenyap yang ada sekarang rasa rindu karena lama tidak bertemu. Kau bercerita banyak bahwa sekarang kau pindah tugas dan bekerja di Jakarta dan sampai suatu musibah kecil yang menyebabkan wajahmu berjerawar banyak. Macam panen saja kataku. Dia bilang ingin sekali bertemu denganku karena mau membayar hutang. Seperti ada urusan yang belum selesai, dia melunasi hutang yang jumlahnya tidak seberapa bahkan aku pun sudah lupa. Kau bercerita banyak tentang kehidupanmu di Surabaya dan sesekali pertemuanmu dengan teman-teman dari Pagaralam yang tinggal di Surabaya. Tentang hubunganmu dengan pacar yang tak berakhir indah, sepertinya urusan asmara memang tak pernah berkawan baik denganmu, sahabat. Ternyata saat itu sudah bulan ketiga kau kerja di jakarta, kau bercerita bahwa kau sudah sangat jenuh di Jakarta dan ingin pindah ke kota lain atau pulang kekampung halaman. Aku pun sependapat, siapa yang betah ditempa macet setiap hari di jakarta? Tanpa angin, tanpa hujan kita bertemu lagi saat lebaran, saat kau tiba-tiba muncul dirumahku dengan baju bunga-bungamu, rambut kuncir samurai. Dan kau minta diajak jalan-jalan keliling pagaralam. Jujur, selama berkawan denganmu baru kali itu aku malu jalan denganmu. Ku hina kau seperti pakai taplak meja, tapi buktinya hari itu kita tertawa lepas dan main seharian sampai puas.

Beberapa bulan kemudian kita bertemu lagi di kota tua, maaf aku datang terlambat. Kau dan Fathoni sudah menunggu lama sampai aku datang. Kita makan sate padang bareng dipinggir kali, dengan wewangian sreng menusuk hidung dari parfum sampah dikali dan perlu kalian tahu, harganya sangat mahal. Meskipun kau kemayu, tapi kau sangat takut dengan bencong sampai kau sembunyi dibalik punggung fathoni. Kita sangat bersenang-senang waktu itu hingga larut malam sampai tidur pun membawa senyum. Sesekali kau masih bertukar kabar denganku melalaui whatsapp, sekedar curhat bahwa kau sudah tidak betah lagi diibukota. Konon kau mendapat tugas untuk pindah ke Balikpapan, sedangkan hatimu menjerit untuk pulang kepagaralam. Kusarankan kau pulang kepagaralam dan kau pun menyetujui untuk memilih pulang kampung dan mengurus toko kakakmu. Kulihat dari beberapa postinganmu, kau sangat menikmati waktu berkualitasmu di pagaralam sampai membuatku iri dan ingin rasanya pulang saat itu juga kepagaralam dan berkumpul dengan kalian. Ahhh… andai kalian tahu betapa rindunya aku main dengan kalian. Tapi itu tak berlangsung lama, kemudian kau dipanggil lagi ke jakarta karena pekerjaanmu yang belum tuntas. Kau pun beberapa kali meminta untuk bertemu denganku untuk sekedar berkumpul dan bertukar cerita, namun kita saling sibuk sampai bertemu pun susah. Kau bilang sudah sangat tak betah tinggal di Jakarta dan ingin segera pindah ke Balikpapan. Ketika ada waktu, tak ada uang. Ketika ada uang, tak ada waktu. Itulah yang membuatku dan kamu benci tinggal di ibukota, kita seperti diperbudak waktu dan pekerjaan dengan hasil yang tak seberapa.

Tak kusangka ajakan ketemuan itu, menjadi permintaan terakhirmu Rian. Kemarin (19/5/2014) dengan begitu mengejutkan kau pergi meninggalkan kami dengan tenang dalam peristirahatanmu yang abadi. Bagai disambar petir disiang bolong, kabar ini sangat mengejutkanku. Tak kudengar kabar kau sakit, seperti selama ini kau selalu terlihat ceria dan kementelan kalo kata orang pagaralam. Mungkin kau tak ingin membuat kami para sahabatmu ini khawatir dengan keadaanmu. Dibalik tawa ceriamu ternyata maag kronis dan meningitis terus menggerogotimu. Ini ternyata jawaban yang Allah beri kenapa kau sering pingsan. Perlu kau tahu Rian, padahal disiang harinya aku merancang acara untuk kita teman-teman dari pagaralam untuk berkumpul makan-makan sebelum puasa ini. Namun Allah terlalu menyayangimu dan memintamu mendahului kami. Do’amu telah terkabul, kau sudah pindah dari ibukota, kau sudah di Balik Papan kuburmu. Kau sudah ditempatkan di tempatnya yang paling baik agar kau tak perlu lagi merasakan pahit getir dan ganasnya kehidupan. Beristirahatlan dengan tenang kawan.Maafkan kami yan yang tak ada disaat-saat terakhirmu. Yang tak tahu derita penyakitmu disaat-saat terakhir. Insya allah do’a kami tak pernah putus untukmu. Semoga dilapangkan kuburmu dan diberi surga di sisi Nya.
Kami akan selalu merindukan senyummu, tawamu, candamu dan kekonyolanmu.

Untuk teman terbaikku Alm. Rian Hadi Saputra (27 Mei 1990 – 21 Mei 2015)

Goodbye Rian, we will always love you.

Komentar

Postingan Populer